Rabu, 18 Juli 2012

Gerbang Cinta Para Wali



Ada cahaya yang memendar nun jauh di sana. Tak habis-habisnya mata memandang penuh pesona. Indah dan menakjubkan, hingga tiada sesaat pun melainkan sebuah klimaks dari puncak rasa kita, terkadang seperti puncak gelombang Cinta, terkadang menghempas seperti sauh-sauh kesadaran di hempas pantai, terkadang begitu jauh di luar batas harapan, padahal ia lebih dekat dari sanubari kita sendiri.

Tiba-tiba cahaya itu ada di depan mata hati kita. Ternyata sebuah gerbang keagungan yang dahsyat penuh kharisma. Gerbang itu seakan bicara: “Akulah gerbang para kekasih Tuhan”. Sejengkal saja kaki kita melangkah, memasuki pintu gerbang itu, seluruh kesadaran kita sirna dalam luapan gelombang cinta yang digerakkan oleh kedahsyatan angin kerinduan. Kata pertama yang berbunyi di sana adalah deretan puja dan puji:

“Segala puji bagi Allah yang telah meluapi lembah kalbu para wali-Nya dengan luapan Cinta kepada-Nya. Dia yang membangunkan istana khusus agar luapan arwah para kekasih-Nya itu, senantiasa menyaksikan keagungan-Nya. Dia pula yang menghamparkan padang ma’rifatullah melalui rahasia-rahasia jiwanya. Lalu kalbunya berada di sebuah taman surga. Taman itu penuh dengan lukisan-lukisan ma’rifatullah yang tiada tara. Sedangkan arwah-arwah mereka berada di Taman Malakut, tak sejenak pun arwah itu melainkan berada dalam keabadian penyucian pada-Nya. Duh, rahasia arwahnya, mendendangkan tasbih dalam tarian Lautan Jabarut-Nya.”




Lalu sebuah gerbang yang begitu agung dan indahnya, mengukirkan prasasti yang ditulis oleh Qalam Ruhani. “Segala Puja bagi Allah, yang telah membuka gerbang Cinta-Nya bagi para Kekasih-Nya. Lalu Dia mengurai rantai yang membelenggu jiwanya, sehingga mereka teguh dalam keharusan khidmah pada-Nya, sedangkan cahaya-cahaya-Nya melimpahi akal-akal mereka. Lalu tampak jelas, keajaiban-keajaiban kekuasaan-Nya, sedangkan kalbu-kalbu mereka terjaga dari haru biru tipudaya yang menumpah pada pesona-pesona cetak lahiriyah jagad semesta, sampai akhirnya menggapai ma’rifat paripurna. Amboi, ruh-ruh mereka tersingkapkan dari kemahasucian paripurna-Nya, dan sifat-sifat keagungan-Nya. Merekalah penempuh jalan hadirat-Nya, dalam kenikmatan rahasia kedekatan dengan-Nya, melalui tarekat dahsyat rindu dendam-Nya, hingga mereka termanifestasi dalam hakikat, melalui penyaksian Ketunggalan-Nya. Mereka telah diraih dari mereka, dan Dia menyirnakan mereka dari mereka, lalu mereka ditenggelamkan dalam lautan Kemaha-Dia-an-Nya. Dia memisahkan pasukan-pasukan terpencar dalam kesatuan kitab-Nya bagi para kekasih terpilih-Nya. Lalu mereka terjaga oleh kerahasiaan jiwa melalui limpahan cahaya-cahaya, agar ia menjadi obyek manifestasi, di samping ke-Tunggal-Dirian-Nya.”

Kalau saja kita ingin mengenal gerbang-gerbang Kekasih Allah itu, semata bukanlah hasrat dan ambisi untuk menjadi Kekasih-Nya. Sebab, mengangkat derajat seseorang menjadi Kekasih-Nya adalah Hak Allah, dan Allah sendiri yang memberi Wilayah itu kepada hamba-Nya yang dikehendaki-Nya.

Sekadar berkah atas cahaya kewalian dari kekasih-kekasih-Nya itu, sesungguhnya lebih dari cukup bagi kita. Sedangkan pengetahuan kita atas dunia kewalian yang menjadi bagian dari misteri-misteri Ilahi, tidak lebih dari limpahan-limpahan Ilahi, agar kita lebih yakin kepada-Nya atas keimanan kita selama ini.

Para Auliya Allah adalah Ahlullah. Mereka terpencar di muka bumi sebagai “tanda-tanda” Ilahiyah, dengan jumlah tertentu, dan tugas-tugas tertentu. Di antara mereka ada yang ditampakkan karamahnya, ada pula yang tidak ditampakkan sama sekali. Oleh karena itu hamba-hamba Allah yang diberi kehebatan luar biasa, tidak sama sekali disebut Waliyullah, dan belum tentu juga yang tidak memiliki kelebihan sama sekali, tidak mendapat derajat Wali Allah. Para Auliya adalah mereka yang senantiasa mencurahkan jiwanya untuk Ubudiyah kepada Allah, dan menjauhkan jiwanya dari kemaksiatan kepada Allah.

Di masyarakat kita, seringkali terjebak oleh fenomena-fenomena metafisikal yang begitu dahsyat yang muncul dari seseorang. Lalu masyarakat kita mengklaim bahwa orang tersebut tergolong Waliyullah. Padahal kata seorang syekh sufi, “Jika kalian melihat seseorang bisa terbang, bisa menembus batas geografis dengan cepat, bahkan bisa menembus waktu yang berlalu dan yang akan datang, janganlah Anda anggap itu seorang Wali Allah sepanjang ia tidak mengikuti Sunnah Rasulullah SAW.“

Mengapa? Sebab ada ilmu-ilmu hikmah tertentu yang bisa dipelajari, agar seseorang memiliki kehebatan tertentu di luar batas ruang dan waktu, dan ironisnya ilmu demikian disebut sebagai Ilmu Karamah. Padahal karamah itu, adalah limpahan anugerah Ilahi, bukan karena usaha-usaha tertentu dari hamba Allah.

Karamah sendiri bukanlah syarat dari kewalian. Kalau saja muncul karamah pada diri seorang wali, semata hanyalah sebagai petunjuk atas kebenaran ibadahnya, kedudukan luhurnya, namun dengan syarat tetap berpijak pada perintah Nabi SAW. Jika tidak demikian, maka karamah hanyalah kehinaan syetan. Karena itu di antara orang-orang yang saleh ada yang mengetahui derajat kewaliannya, dan orang lain tahu. Ada pula yang tidak mengetahui derajat kewaliannya sendiri, dan orang lain pun tidak tahu. Bahkan ada orang lain yang tahu, tetapi dirinya sendiri tidak tahu.

Tetapi di belahan ummat Islam lain juga ada yang menolak konsep kewalian. Bahkan dengan mudah mengklaim yang disebut Auliya’ itu seakan-akan hanya derajat biasa dari derajat keimanan seseorang. Tentu saja, kelompok ini sama kelirunya dengan kelompok mereka yang menganggap seseorang, asal memiliki kehebatan, lalu disebut sebagai Waliyullah, apalagi jika orang itu dari kalangan kiai atau ulama.

Meluruskan pandangan Kewalian di khalayak ummat kita, memang sesuatu yang rumit. Ada ganjalan-ganjalan primordial dan psikologis, bahkan juga ganjalan intelektual.

Al-Quthub Abul Abbas al-Mursi, semoga Allah meridlainya, menegaskan dalam kitab yang ditulis oleh muridnya, Lathaiful Minan, karya Ibnu Athaillah as-Sakandari, “Waliyullah itu diliputi oleh ilmu dan ma’rifat-ma’rifat, sedangkan wilayah hakikat senantiasa disaksikan oleh mata hatinya, sehingga ketika ia memberikan nasehat seakan-akan apa yang dikatakan seperti identik dengan izin Allah. Dan harus dipahami, bagi siapa yang diizinkan Allah untuk meraih ibarat yang diucapkan, pasti akan memberikan kebaikan kepada semua makhluk, sementara isyarat-isyaratnya menjadi riasan indah bagi jiwa-jiwa makhluk itu.”

“Dasar utama perkara Wali itu,” kata Abul Abbas, “adalah merasa cukup bersama Allah, menerima Ilmu-Nya, dan mendapatkan pertolongan melalui musyahadah kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman: “Barangsiapa bertawakkal kepada Allah, maka Dia-lah yang mencukupinya.” (QS. ath-Thalaq: 3). “Bukankah Allah telah mencukupi hambanya?” (QS. Az-Zumar: 36). “Bukankah ia tahu, bahwa sesungguhnya Allah itu Maha Tahu?” (QS. al-‘Alaq :14). “Apakah kamu tidak cukup dengan Tuhanmu, bahwa sesungguhnya Dia itu Menyaksikan segala sesuatu?” (QS. Fushshilat: 53).
Syekh Agung Abdul Halim Mahmud dalam memberikan catatan khusus mengenai Lathaiful Minan karya as-Sakandari mengupas panjang lebar mengenai Kewalian ini. Hal demikian dilakukan karena, as-Sakandari menulis kitab itu memulai tentang wacana Kewalian, karena memang, buku besar itu ingin mengupas tuntas tentang biografi dua Waliyullah terbesar sepanjang zaman, yaitu Sulthanul Auliya’ Syekh Abul Hasan asy-Syadzili ra dan muridnya, Syekh Abul Abbas al-Mursi.

Dalam sebuah ayat yang seringkali menjadi rujukan utama dunia Kewalian adalah: “Ingatlah bahwa sesungguhnya para Wali-wali Allah itu tidak punya rasa takut dan rasa gelisah. Yaitu orang-orang yang beriman dan mereka bertaqwa. Mereka mendapatkan kegembiraan dalam kehidupan dunia dan dalam kehidupan akhirat. Tidak ada perubahan bagi Kalimat-kalimat Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.” (QS. Yunus: 62-64)
Dalam salah satu hadits Qudsi yang sangat populer disebutkan, “Rasulullah SAW bersabda: Allah Ta’ala berfirman: “Siapa yang memusuhi Wali-Ku, maka benar-benar Aku izinkan orang itu untuk diperangi. Dan tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku yang lebih Aku cintai dibanding apa yang Aku wajibkan padanya. Dan hamba-Ku itu senantiasa mendekatkan pada-Ku dengan ibadah-ibadah Sunnah sehingga Aku mencintai-Nya. Maka bila Aku mencintainya, Akulah pendengarannya di mana ia mendengar, dan menjadi matanya di mana ia melihat, dan menjadi tangannya di mana ia memukul, dan menjadi kakinya di mana ia berjalan. Jika ia memohon kepada-Ku, Akupasti memberinya, jika ia memohon perlindungan kepadaKu Aku pasti melindunginya.”

Karenanya al-Hakim at-Tirmidzi, salah satu sufi besar generasi abad pertengahan, menulis kitab yang sangat monumental hingga saat ini, Khatamul Auliya’ (Tanda-tanda Kewalian), yang di antaranya berisi 156 pertanyaan mengenai dunia sufi, dan siapa yang bisa menjawabnya, maka ia akan mendapatkan Tanda-tanda Kewalian itu. Beliau juga menulis kitab ‘Ilmul Auliya.

Ragam Para Wali
Para Syekh Sufi membagi macam para Wali dengan berbagai versi, termasuk derajat masing-masing di hadapan Allah Ta’ala. Dalam kitab Al-Mafakhirul Aliyah fi al-Ma’atsir asy-Syadzilyah disebutkan ketika membahas soal Wali Quthub. Syekh Syamsuddin bin Katilah Rahimahullaahu Ta’ala menceritakan: “Saya sedang duduk di hadapan guruku, lalu terlintas untuk menanyakan tentang Wali Quthub. “Apa makna Quthub itu wahai tuanku?” Lalu beliau menjawab, “Quthub itu banyak. Setiap muqaddam atau pemuka sufi bisa disebut sebagai Quthub-nya.

Sedangkan al-Quthubul Ghauts al-Fard al-Jami’ itu hanya satu. Artinya bahwa Wali Nuqaba’ itu jumlahnya 300. Mereka itu telah lepas dari rekadaya nafsu, dan mereka memiliki 10 amaliyah: empat amaliyah bersifat lahiriyah, dan enam amaliyah bersifat bathiniyah. Empat amaliyah lahiriyah itu antara lain:

1) Ibadah yang banyak, 2) Melakukan zuhud hakiki, 3) Menekan hasrat diri, 4) Mujahadah dengan maksimal. Sedangkan lelaku batinnya: 1) Taubat, 2) Inabat, 3) Muhasabah, 4) Tafakkur, 5) Merakit dalam Allah, 6) Riyadlah. Di antara 300 Wali ini ada imam dan pemukanya, dan ia disebut sebagai Quthub-nya.

Sedangkan Wali Nujaba’ jumlahnya 40 Wali. Ada yang mengatakan 70 Wali. Tugas mereka adalah memikul beban-beban kesulitan manusia. Karena itu yang diperjuangkan adalah hak orang lain (bukan dirinya sendiri). Mereka memiliki delapan amaliyah: empat bersifat batiniyah, dan empat lagi bersifat lahiriyah: Yang bersifat lahiriyah adalah 1) Futuwwah (peduli sepenuhnya pada hak orang lain), 2) Tawadlu’, 3) Menjaga Adab (dengan Allah dan sesama) dan 4) Ibadah secara maksimal. Sedangkan secara Batiniyah, 1) Sabar, 2) Ridla, 3) Syukur), 4) Malu.

Adapun Wali Abdal berjumlah 7 orang. Mereka disebut sebagai kalangan paripurna, istiqamah dan memelihara keseimbangan kehambaan. Mereka telah lepas dari imajinasi dan khayalan, dan mereka memiliki delapan amaliyah lahir dan batin. Yang bersifat lahiriyah: 1) Diam, 2) Terjaga dari tidur, 3) Lapar dan 4) ‘Uzlah. Dari masing-masing empat amaliyah lahiriyah ini juga terbagi menjadi empat pula: Lahiriyah dan sekaligus Batiniyah:
Pertama, diam, secara lahiriyah diam dari bicara, kecuali hanya berdzikir kepada Allah Ta’ala. Sedangkan Batinnya, adalah diam batinnya dari seluruh rincian keragaman dan berita-berita batin. Kedua, terjaga dari tidur secara lahiriyah, batinnya terjaga dari kealpaan dari dzikrullah. Ketiga, lapar, terbagi dua. Laparnya kalangan Abrar, karena kesempurnaan penempuhan menuju Allah, dan laparnya kalangan Muqarrabun karena penuh dengan hidangan anugerah sukacita Ilahiyah (uns). Keempat, ‘uzlah, secara lahiriyah tidak berada di tengah keramaian, secara batiniyah meninggalkan rasa suka cita bersama banyak orang, karena suka cita hanya bersama Allah.

Amaliyah Batiniyah kalangan Abdal, juga ada empat prinsipal: 1) Tajrid (hanya semata bersama Allah), 2) Tafrid (yang ada hanya Allah), 3) Al-Jam’u (berada dalam Kesatuan Allah, 3) Tauhid.

Ragam lain dari para Wali ada yang disebut dengan Dua Imam (Imamani), yaitu dua pribadi, salah satu ada di sisi kanan Quthub dan sisi lain ada di sisi kirinya. Yang ada di sisi kanan senantiasa memandang alam Malakut (alam batin) -- dan derajatnya lebih luhur ketimbang kawannya yang di sisi kiri --, sedangkan yang di sisi kiri senantiasa memandang ke alam jagad semesta (malak). Sosok di kanan Quthub adalah Badal dari Quthub. Namun masing-masing memiliki empat amaliyah Batin, dan empat amaliyah Lahir. Yang bersifat Lahiriyah adalah: Zuhud, Wara’, Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar. Sedangkan yang bersifat Batiniyah: Kejujuran hati, Ikhlas, Mememlihara Malu dan Muraqabah.

Wali lain disebut dengan al-Ghauts, yaitu seorang tokoh agung dan tuan mulia, di mana seluruh ummat manusia sangat membutuhkan pertolongannya, terutama untuk menjelaskan rahasia hakikat-hakikat Ilahiyah. Mereka juga memohon doa kepada al-Ghauts, sebab al-Ghauts sangat diijabahi doanya. Jika ia bersumpah langsung terjadi sumpahnya, seperti Uwais al-Qarni di zaman Rasul SAW. Dan seorang Qutub tidak bisa disebut Quthub manakala tidak memiliki sifat dan predikat integral dari para Wali.

Al-Umana’, juga ragam Wali adalah kalangan Malamatiyah, yaitu mereka yang menyembunyikan dunia batinnya, dan tidak tampak sama sekali di dunia lahiriyahnya. Biasanya kaum Umana’ memiliki pengikut Ahlul Futuwwah, yaitu mereka yang sangat peduli pada kemanusiaan.
Al-Afraad, yaitu Wali yang sangat spesial, di luar pandangan dunia Quthub.

Para Quthub senantiasa bicara dengan Akal Akbar, dengan Ruh Cahaya-cahaya (Ruhul Anwar), dengan Pena yang luhur (Al-Qalamul A’la), dengan Kesucian yang sangat indah (Al-Qudsul Al-Abha), dengan Asma yang Agung (Ismul A’dzam), dengan Kibritul Ahmar (ibarat Berlian Merah), dengan Yaqut yang mememancarkan cahaya ruhani, dengan Asma’-asma, huruf-huruf dan lingkaran-lingkaran Asma huruf. Dia bicara dengan cahaya matahati di atas rahasia terdalam di lubuk rahasianya. Ia seorang yang alim dengan pengetahuan lahiriah dan batiniyah dengan kedalaman makna yang dahsyat, baik dalam tafsir, hadits, fiqih, ushul, bahasa, hikmah dan etika. Sebuah ilustrasi yang digambarkan pada Sulthanul Aulioya Syeikhul Quthub Abul Hasan Asy-Syadzily – semoga Allah senantiasa meridhoi .

by.sufimews.com

Jumat, 13 Juli 2012

AJARAN DASAR TAREKAT SAMMANIYAH

A. Pentingnya Mempelajari Ilmu Hati (Ilmu Tarekat)

Hati memegang peranan penting bagi manusia. Baik dan buruknya seseorang ditentukan oleh hati sebagaimana Hadis Nabi:
...اَلاَوَاِنَّ فِى الْجَسَدِ مُدْغَةً اِذَاصَلُحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَاِذَافَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ آلآوَهِيَ الْقَلْبُ
“Ingatlah bahwa di dalam tubuh itu ada segumpal darah, bila ia telah baik maka baiklah sekalian badan.Dan bila ia rusak, maka rusaklah sekalian badan. Dan bila ia rusak maka binasalah sekalian badan, itulah yang dikatakan hati”.

Demikianlah pentingnya peranan hati bagi manusia, oleh sebab itu manusia wajib menjaga kesucian hatinya. Adapun yang menjadi penyebab kotornya hati manusia itu adalah disebabkan berbagai penyakit yang terdapat padanya sebagaimana dijelaskan oleh firman Allah:
فِى قُلُوْبِهِمْ مَرَضٌ
“Di dalam hati mereka ada penyakit”. (Q.S. 2 Al-Baqarah: 10)

Terdapat 6666 ayat Al-Qur’an dan 6666 urat di dalam tubuh manusia, demikian halnya dengan hati manusia, ada 6666 penyakit di dalam hati manusia. Dari sekian banyak penyakit yang ada di dalam hati manusia, ada beberapa penyakit hati yang paling berbahaya, di antaranya: hawa nafsu, cinta dunia, loba, tamak, rakus, pemarah, pengiri, dendam, hasad, munafiq, ria, ujub, takabbur. Jadi bila tidak diobati, maka sambungan ayat mengatakan:
فَزَادَهُمُ اللهُ مَرَضًا
“Lalu ditambah Allah penyakitnya”. (Q.S. 2 Al-Baqarah: 10)
Demikianlah bahayanya apabila manusia itu tidak segera membersihkan hatinya, maka Allah akan terus menambah penyakitnya. Oleh sebab itu kewajiban pertama bagi manusia adalah terlebih dahulu ia harus mensucikan hatinya sebagaimana firman Allah:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّ
“Beruntunglah orang yang mensucikan hatinya dan mengingat Tuhan-Nya, maka didirikannya sembanhyang”. (Q.S. 87 Al-A’la: 14-15)
Dari penjelasan surah Al-A’la di ayat 14 dan 15 di atas dapat diambil kesimpulan bahwa ada tiga kewajiban yang dibebankan oleh Allah kepada manusia:
1. Kewajiban Mensucikan Hati
Di dalam surah Al-A’la ayat 14 Allah menyatakan bahwa orang-orang yang telah mensucikan hatinya sesungguhnya telah memperoleh keberuntungan. Lalu dibenak kita timbul beberapa pertanyaan:
- Apa yang dimaksud dengan hati yang bersih?
- Bagaimana cara membersihkan hati?
- Mengapa orang yang mensucikan hatinya disebut orang yang beruntung?
- Apa keuntungan yang diperoleh oleh orang yang telah mensucikan hatinya?
Pertama, apa yang dimaksud dengan hati yang bersih? Menurut Syekh Muda ahmad Arifin yang dimaksud dengan hati yang bersih yaitu tidak ada di dalam hati itu selain Allah. Artinya seseorang yang disebut hatinya bersih adalah orang yang senantiasa selalu mengingat Allah. Itulah sebabnya para sufi berkata:
قَلْبُ الْمُؤْمِنِيْنَ بَيْتُ اللهُ
“Hati orang mukmin itu adalah rumah Allah”.
Kedua, bagaimana cara membersihkan hati? Menurut Syekh Muda Ahmad Arifin satu-satunya cara membersihkan hati yaitu dengan mempelajari ilmu hati. Ilmu hati ini lazim disebut dengan beberapa nama di antaranya: ilmu batin, ilmu hakikat, ilmu tarekat. Menurutnya tujuan mempelajari ilmu hati adalah untuk mengenal Allah, sebab hati merupakan sarana yang telah ditetapkan oleh Allah untuk dapat menyaksikan-Nya sebagaimana firman Allah:
مَاكَذَبَ الْفُؤَادُ مَارَآى
“Tidak dusta apa yang telah dilihat oleh mata hati”. (Q.S. An-Najm: 11)
Jadi hanya dengan mempelajari ilmu hatilah kita baru dapat mengenal Allah. Apabila kita telah dapat mengenal Allah, barulah kita dapat mengingat-Nya. Dan mengingat Allah merupakan satu-satunya cara untuk membersihkan hati sebagaimana Hadis Nabi:
لِكُلِّ شَيْءٍ صَقَلَةٌ وَصَقَلَةُ الْقَلْبُ ذِكْرُاللهُ
“Segala sesuatu ada alat pembersihnya dan alat pembersih hati yaitu mengingat Allah”.
Ketiga, mengapa orang yang mensucikan hatinya disebut orang yang beruntung? Menurut Syekh Ahmad Arifin penyebab Allah menyebut orang-orang yang telah mensucikan hatinya sebagai orang-orang yang beruntung adalah disebabkan karena sesungguhnya hanya orang-orang yang telah mensucikan hatinyalah yang dapat mengenal Allah. Menurut al-Ghazali hati manusia berfungsi sebagai cermin yang hanya bisa menangkap cahaya ghaib (Allah) apabila tida tertutup oleh kotoran-kotoran keduniaan. Sesungguhnya hanya orang-orang yang telah mensucikan hatinyalah yang dapat mengenal Allah dan merekalah yang disebut sebagai orang-orang yang beruntung.
Keempat, apa keuntungan yang diperoleh oleh orang yang telah mensucikan hatinya? Menurut Syekh Muda Ahmad Arifin keuntungan yang diperoleh oleh orang yang telah mensucikan hatinya adalah dapat mengenal Tuhannya. Itulah sebabnya Allah berfirman:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّهَا وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّهَا
“Beruntunglah orang yang telah mensucikan hatinya dan merugilah orang yang telah mengotorinya”. (Q.S. 91 As-Syamsi: 9-10)
Itulah sebabnya pada ayat di atas Allah memuji orang-orang yang telah mensucikan hatinya, sebab hanya orang-orang yang telah mensucikan hatinya yang dapat mengenal Allah. Adapun orang-orang yang mengotorinya adalah orang-orang yang merugi, karena sesungguhnya orang-orang yang hatinya kotor tidak akan pernah dapat mengenal Tuhannya.
2. Kewajiban Mengingat Allah
Kewajiban yang kedua adalah mengingat Allah, sebab mustahil kita dapat mengingat Allah kalau kita belum mengenal-Nya dan mustahil kita dapat mengenal-Nya kalau kita belum pernah berjumpa. Dan mustahil kita dapat berjumpa dengan Allah tanpa terlebih dahulu menyertakan diri dan belajar kepada orang yang telah dapat beserta Allah. Itulah sebabnya Nabi memerinthakan kepada kita agar menyertakan diri kepada orang yang telah serta Allah sebagaimana sabda Nabi:
كُنْ مَعَ اللهُ وَاِنْ لَمْ تَكُنْ مَعَ اللهِ فَكُنْ مَعَ مَنْ كَانَ مَعَ اللهِ فَإِنَّهُ يُوْصِلُكَ اِلَى اللهِ
“Sertakanlah kepada Allah, apabila kamu tidak dapat beserta Allah maka sertakanlah dirimu kepada orang yang telah serta Allah, maka ia akan mengenalkan kamu kepada Allah”.
Berdasarkan Hadis di atas, maka kewajiban pertama bagi manusia adalah mencari guru (wasilah) agar ia dapat memperoleh pengenalan kepada Tuhannya. Setelah manusia itu dapat mengenal Allah maka kewajiban kedua baginya adalah mengingat Tuhan-Nya.
3. Kewajiban Mengerjakan Shalat
Shalat merupakan tiang agama yang dilaksanakan apabila kita telah melaksanakan kewajiban pertama dan kedua, sebab tujuan shalat adalah untuk mengingat-Nya sebagaimana firman Allah:
اِنَّنِى أَنَااللهُ لاَإِلَهَ اِلاَّ أَنَا فَاعْبُدْنِى وَأَقِمِ الصَّلَوةَ لَذِكْرِى
“Sesungguhnya Aku inilah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”. (Q.S. 20 Thaha: 14)
Firman Allah di atas senada dengan firman Allah pada surat Al-A’la ayat 14 dan 15 yang telah diuraikan sebelumnya. Untuk mengetahui secara jelas persamaan makna yang terdapat pada kedua ayat tersebut penulis akan menguraikan kalimat perkalimat pada surat Thaha ayat 14 serta membandingkannya dengan surat Al-A’la ayat 14.
Pertama, pada bagian awal surat Thaha ayat 14 Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku ini Allah”. Bila kita menganalisis firman Allah tersebut maka dapatlah kita ketahui bahwa sesungguhnya Allah itu ingin dikenal. Firman Allah pada surat Thaha tersebut senada dengan firman Allah pada surat Al-A’la ayat 14: “Beruntunglah orang-orang yang mensucikan hatinya”. Makna beruntung pada ayat ini adalah bahwa keuntungan yang diperoleh oleh orang-orang yang mensucikan hatinya adalah dapat mengenal Allah. Bahkan bila kita analisis lebih jauh selain memiliki persamaan makna, kedua ayat tersebut juga memiliki kaitan di mana ayat yang satu berfungsi sebagai penjelas bagi yang lain. Pada surah Thaha Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku ini Allah”. Ayat tersebut mengintruksikan kepada manusia kewajiban untuk mengenal Allah. Pada surah al-A’la ayat 14 Allah berfirman: “Beruntunglah orang-orang yang mensucikan hatinya”. Pada ayat ini Allah memuji orang-orang yang mensucikan hatinya, sebab hanya orang-orang yang mensucikan hatinyalah yang dapat mengenal Allah dan merekalah yang dinyatakan Allah sebagai orang-orang yang beruntung. Dari uraian singkat di atas dapat disimpulkan bahwa firman Allah pada surat Thaha ayat 14 keduanya mengindikasikan bahwa kewajiban pertama bagi manusia adalah terlebih dahulu mensucikan hatinya agar ia dapat mengenal Tuhannya.
Kedua, pada bagian tengah surat Thaha Allah berfirman: “Tiada Tuhan selain Aku”. Bila kita analisis firman Allah di atas, maka dapat kita ketahui bahwa maksud yang terkandung di dalamnya adalah perintah untuk mengingat-Nya, sebab kalimat “Tiada Tuhan selain Allah”, bermakna tidak ada yang boleh diingat selain Allah. Firman Allah pada surat al-A’la ayat 15: “Dan mengingat Tuhannya”. Dari uraian singkat di atas dapat disimpulkan bahwa kewajiban yang kedua bagi manusia adalah mengingat Tuhannya.
Ketiga, pada bagian akhir surat Thaha Allah berfirman: “Sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”. Bila kita analisis pada ayat di atas bahwa printah sembah datang setelah terlebih dahulu Allah memerintahkan untuk mengenal dan mengingatnya. Perintah sembah tersebut diwujudkan dengan mendirikan shalat yang tujuannya adalah untuk mengingat-Nya. Firman Allah tersebut senada dengan firman Allah pada surat al-A’la ayat 15: “Maka dirikanlah shlalat”. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa kedua ayat tersebut sama-sama mengindikasikan bahwa shalat merupakan kewajiban ketiga.
Dari penjelasan di atas dapatlah kita ketahui mengapa para sufi menaruh perhatian besar terhadap hati (qalb) dan menempatkan shalat sebagai kewajiban ketiga. Karena sesungguhnya perintah shalat itu diterima setelah terlebih dahulu Jibril mensucikan hati Nabi Muhammad sebelum ia menghadap Allah. Sebab Allah itu tidak dapat dilihat oleh mata kepala Nabi Muhammad tetapi hanya dapat dilihat oleh mata hati Nabi Muhammad. Oleh sebab itu sebelum Nabi Muhammad berjumpa dengan Allah, terlebih dahulu Jibril mensucikan hatinya, agar nur yang ada di dalam mata hatinya itu dapat memancar, sebab dengan nur itulah Nabi Muhammad dapat menyaksikan Allah. Itulah sebabnya di dalam surah al-Isra’ ayat 1 Allah menggunakan kalimat Maha Suci, sebab Allah itu Maha Suci dan hanya dapat dilihat oleh hamba-hamba-Nya apabila mereka telah mensucikan hati mereka.
Adapun makna Jibril mensucikan hati Nabi Muhammad menurut Syekh Muda Ahmad Arifin pada hakikatnya adalah sesungguhnya Malaikat Jibril menyampaikan pengenalan kepada Allah dalam istilah ilmu tarekat lazim disebut dengan bai’at. Praktik bai’at yang diterima oleh Nabi dari gurunya Malaikat Jibril diteruskan kepada Ali ibn Abi Thalib dan praktik seperti ini terus berlanjut dari guru ke murid dalam rangkaian silsilah hingga saat ini. Praktik bai’at yang diterapkan di kalangan ahli tarekat sesungguhnya mengacu pada pola yang dilaksanakan oleh Nabi. Jadi berdasarkan tradisi bai’at inilah muncul istilah bahwa “Barangsiapa yang tidak mempunyai syekh maka gurunya adalah setan” sebab Nabi sendiri tidak dapat mengenal Allah tanpa berguru kepada Malaikat Jibril, apalagi kita sebagai manusia biasa yang hina dan dhaif yang tidak mempunyai kedudukan apa-apa di sisi Allah maka mustahil dapat mengenal Allah tanpa guru. Oleh sebab itu Nabi bersabda:
اَلْعِلْمُ عِلْمَانِ فَعِلْمُ بَطِنِ فِى قَلْبِى فَذَالِكَ هُوَ نَفِعِى
“ilmu itu ada dua macam, adapun ilmu batin yang di dalam hati itu jauh lebih bermanfaat”.
Dari penjelasan Hadis di atas dapatlah kita ketahui bahwa tidak hanya para sufi yang menaruh perhatian besar terhadap hati, bahkan Nabi sendiri lewat Hadisnya secara tegas menyatakan keutamaan ilmu hatilah manusia dapat mengenal Allah.
Menurut Syekh Ahmad Arifin kekeliruan umat Islam saat ini adalah tidak mau mempelajari ilmu hati dan lebih mengutamakan ilmu syari’at. Oleh sebab itu menurutnya mayoritas umat Islam saat ini tidak mengenal yang mereka sembah dan sesungguhnya mereka berada dalam kesesatan yang nyata sebagaimana firman Allah:
فَوَيْلٌ لِلْقَسِيَةِ قُلُوْبُهُمْ مِنْ ذِكْرِاللهِ أُلَئِكَ فِى ضَلَلٍ مُّبِيْنٍ
“Maka celakalah bagi orang yang hatinya tidak dapat mengingat Allah, mereka itu dalam kesesatan yang nyata”. (Q.S. 39 az-Zumar: 22)
Demikianlah celaan Allah terhadap orang-orang yang tidak dapat mengingat-Nya, yang kesemuanya itu disebabkan karena mereka tidak mempelajari soal hati. Namun kebanyakan umat Islam saat ini tidak tahu kalau mereka itu tidak tahu. Mereka menganggap bahwa amal ibadah mereka dapat diterima oleh Allah SWT, karena merasa bahwa tauhid mereka telah sempurna, padahal sesungguhnya mereka berada dalam kesesatan yang nyata. Sesungguhnya orang-orang yang bertauhid si sisi Allah adalah orang-orang yang telah mempelajari ilmu hati. Sebab hanya dengan mempelajari ilmu hatilah kita baru dapat mengenal Allah. Jadi sesungguhnya orang-orang yang tidak mempelajari ilmu hati adalah orang-orang yang bertauhid di sisi manusia tetapi sesungguhnya kafir di sisi Allah, sebab tauhid mereka hanya di lidah, namun hatinya tidak pernah menyaksikan Allah. Mereka menganggap bahwa dengan mengucap dua kalimah syahadat dan percaya dalam hati berarti telah Islam dan beriman di sisi Allah. Padahal keislaman dan keimanan mereka itu barulah sebatas percaya kepada Allah. Oleh sebab itu orang-orang yang mengabaikan atau tidak mempelajari ilmu hati (ilmu tarekat) sesungguhnya adalah orang-orang yang mengabaikan tauhid.
Dari uraian di atas dapatlah kita ketahui betapa pentingnya mempelajari ilmu hati (ilmu tarekat). Jadi dapat disimpulkan bahwa ilmu tauhid yang sesungguhnya adalah dengan mempelajari ilmu hati (ilmu tarekat).

Rabu, 11 Juli 2012

Kisah Unta yang Bersaksi kepada Rasulullah

Karena Sholawat atas Nabi SAW, Seekor unta bersaksi atas kedustaan seorang pemuda penjaga keamanan



Di dalam "Kitab HayatuI Haayawan” yang ditulis oleh Addamiri yang dinukil dari Kitab "Adda'awaat" yang ditulis oleh Ath Thabrani yang bersumber dari Zaid bin Tsabit r.a. telah berkata : "Kami telah berperang bersama Rasulullah SAW. dan ketika kami tiba di persimpangan jalan Madinah, kami melihat seorang A'rabii (orang Arab pegunungan) sedang menuntun seekor unta hingga ia berhenti di hadapan Rasulullah SAW. Dan ketika itu, kami berada di sekelilingnya.
A'raabii itu mengucapkan salam :
"Salam sejahtera bagimu wahai Nabi warahmatullahi wabarakatuh),
Lalu unta itu diam,Rasulullah SAW pun membalasnya. Beliau bersabda “Bagaimanakah keadaanmu pagi ini”

Ketika itu, tiba-tiba datang seorang laki laki yang nampaknya seperti penjaga keamanan seraya berkata” Hai Rasulullah, Arabi ini telah mencuri lenguhan itu didengarkanya baik baik oleh Rasulullah. Dan setelah itu unta itu diam, Nabi SAW mendatangi orang itu seraya bersabda kepadanya: “ Berpalinglah engkau daripada arabi itu, karena unta itu telah bersaksi bahwa engkau adalah pendusta”. Kemudian penjaga keamanan itu pergi, lalu Rasulullah mendatangi Arabi seraya berkata:”Apa yabg engkau ucapkan ketika engkau mendatangiku?” Ia berkata: Demi Bapak dan Ibuku aku telah mengucapkan:”







Ya Allah limpahkanlah rahmat atas Muhamad sehingga tidak ada rahmat yang tersisa, Ya Allah, limpahkanlah keberkahan atas Muhammad sehingga tidak ada keberkahan yang tersisa. Ya Allah, limpahkanlah kesejahteraan atas Muhammad sehingga tidak ada kesejahteraan yang tersisa. Ya Allah, rahmatilah Muhammad sehingga tidak ada rahmat yang tersisa".

Maka bersabdalah SAW. : "Sesungguhnya Allah Yang Maha Suci telah menjelaskan kepadaku, dan unta itu, telah bercakap dengan permohonan uzumya (maafnya) dan para malaikat telah menutup atap langit.

Dan didalam riwayat Tabrani dari Nafi' dari Ibni 'Amir bahwa Nabi SAW telah bersabda kepada A'rabii itu: "Hai engkau, apa yang engkau katakan tadi?". Lalu iapun memberitahukan kepada beliau mengenai apa yang telah ia ucapkan. Maka bersabdalah Nabi SAW: "Karena itu, aku telah menyaksikan para malaikat menerobos jalan-jalan kota Madinah hingga hampir-hampir menutupi antara aku dan engkau". Kemudian beliau bersabda pula: "Engkau akan mendatangi Ash Shiraat (titian), sedang wajahmu lebih terang dari bulan purnama ".

by: sufiroad